Hadir dan Menyalakan Harapan
- Domus Cordis
- 5 Agu
- 2 menit membaca

Pagi itu, Arka terbangun. Ia duduk di tepi ranjang, memandang langit-langit kamar yang pucat diterpa cahaya matahari pagi. Di luar kamar, rumah terasa hampa—tak ada suara canda, tak ada aroma sarapan, hanya dentingan piring dari dapur yang segera hilang ditelan keheningan. Orang tuanya sudah berangkat sejak subuh, mengejar pekerjaan yang tak pernah selesai. Tak ada sapaan, tak ada pelukan, hanya secarik catatan di meja: “Jangan lupa makan.” Arka menarik napas dalam-dalam, namun tak bisa mengusir kekosongan yang perlahan mengendap di hatinya.

Namun, di balik kekosongan itu, ada sesuatu yang tetap menyala—meskipun kecil—yang disebut harapan. Harapan tidak selalu datang dalam bentuk solusi instan, tapi sering kali hadir melalui perjumpaan dan kepedulian yang sederhana. Bagi Arka, harapan itu muncul ketika seorang teman komunitas mengirimkan pesan singkat: “Kamu lagi apa? minggu ini ikut pertemuan yuk. Kita bareng-bareng belajar tentang tujuan hidup.” Pesan itu mungkin terlihat biasa saja, tapi bagi Arka yang merasa tak terlihat, itu sangat berarti. Meski sudah beberapa kali menolak ajakan tersebut, tapi lama kelamaan ia pun mulai mempertimbang-kan untuk datang. Mungkin masih ada tempat yang bisa membuatnya merasa lebih hidup dan dimengerti?

Di tempat lain, ada Lani yang sedang duduk di beranda rumah, memandang hamparan sawah yang mulai menguning. Meski alam sekitarnya tampak tenang dan indah, hati Lani dipenuhi kegelisahan. Ia merasa terjebak di tempat yang sama, tahun demi tahun, tanpa banyak pilihan. Akses pendidikan terbatas, internet sering putus-putus, dan teman-temannya satu per satu merantau, meninggalkan desa demi mimpi yang lebih besar. Orang-orang dewasa di sekitarnya berkata, “Bersyukur saja, hidup di sini aman.” Tapi Lani tahu, hatinya memendam kerinduan akan sesuatu yang lebih—makna, arah, dan harapan yang belum ia temukan.
Lalu, muncullah seorang kakak pendamping yang datang rutin setiap bulan untuk mengada-kan kegiatan belajar dan berbagi cerita iman. Kakak itu tidak membawa uang atau janji besar, tapi ia hadir dengan waktu dan telinga yang mendengarkan. Untuk pertama kalinya, Lani merasa suaranya penting, mimpinya tidak sia-sia. Ia mulai membantu adik-adik kecil di desa belajar membaca, dan dari sanalah ia menyadari—mungkin ia tidak harus pergi jauh untuk bermakna; mungkin harapan bisa dimulai dari hatinya sendiri yang bangkit dan memberi.

Cerita Arka dan Lani adalah potret nyata banyak orang muda hari ini—baik yang tinggal di tengah kota yang hiruk pikuk maupun yang berada di desa. Mereka tidak butuh jawaban instan, tapi butuh didampingi, dilihat, dan disapa. Sebab dalam pendampingan yang tulus, harapan tumbuh. Dalam komunitas yang saling peduli, masa depan dibentuk.
Sebagai pengikut Kristus, kita semua dipanggil, entah sebagai sahabat, kakak rohani, orang tua, atau pelayan, untuk menjadi penyala harapan bagi orang muda di sekitar kita. Tak perlu menunggu sempurna, cukup mulai hadir dan peduli. Sebab seringkali, satu senyum, satu ajakan kecil, atau satu pelukan hangat—adalah awal dari hidup yang berubah.
Yuk, hadir dan bagikanlah harapan tersebut pada orang-orang muda di sekitar kita, seperti halnya yang dilakukan oleh Santo Yohanes Paulus II. Beliau selalu hadir dan menyemangati orang muda dengan mengatakan:

“Do not be afraid. Do not be satisfied with mediocrity. Put out into the deep and let down your nets for a catch.”
artinya:
"Jangan takut. Jangan puas dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Majulah ke laut yang dalam dan tebarkan jala untuk menangkap ikan.”



Komentar