top of page

Kebaikan Tuhan dan Kematian


Jika di bulan lalu kita sudah membahas mengenai penyakit, dalam Inspire bulan ini kita membahas topik yang lebih seru, yaitu kematian. Penyelenggaraan Tuhan dalam penyakit mungkin masih menjadi sesuatu yang bisa kita imani dengan mudah. Kita banyak melihat kesaksian orang-orang yang sembuh dan dipulihkan Tuhan dari suatu penyakit. Tapi, bagaimana dengan kematian?

Bagaimana kita melihat penyelenggaraan Tuhan dalam kematian, apalagi ketika kita ditinggalkan oleh orang yang kita kasihi?

Cerita Kehilangan yang Terkasih

Salah seorang Cordisian membagikan kisahnya mengenai penyelenggaraan Tuhan ketika suaminya berpulang di usia perkawinan mereka yang baru berjalan 12 tahun. Bagi Tasia, ditinggal oleh pasangan itu rasanya seperti separuh jiwanya hilang. Ia merasakan kekosongan yang luar biasa di dalam dirinya.


Ceritanya bermula dari kondisi suami Tasia yang sempat sakit di suatu malam. Ketika datang ke IGD, dokter menyarankan agar suami Tasia langsung diopname. Keesokan harinya, kondisi suaminya bahkan memburuk, sehingga perlu dipindahkan ke ICU di rumah sakit lain. Ketika itu, Tasia mulai merasa kebingungan dan cemas. Setiap hari, ia menunggu di depan ICU. Ia tahu bahwa setiap kali ada orang yang menangis di dalam ICU, artinya ada seseorang yang berpulang dan ada keluarga yang berduka.


Di hari ke-4, suami Tasia sadar dan bahkan bisa makan sendiri. Tasia sangat bersukacita karena hal ini. Dokter juga mengatakan bahwa kondisi suaminya membaik. Akan tetapi, tiba-tiba keesokan harinya, suami Tasia mengalami demam yang sangat tinggi dan kehilangan kesadarannya kembali. Di malam harinya, suami Tasia pun akhirnya berpulang.


Dalam kejadian ini, tentu Tasia merasa sangat kehilangan. Ia merasa tidak ingin mencintai lagi karena tidak sanggup kehilangan lagi, ia bahkan tidak ingin hidup lagi. Lucunya, tidak lama setelah itu, Tasia dikirim untuk bermisi ke Maumere dan harus memberikan pengajaran serta membagikan kesaksian iman. Ia merasa sangat kesal, namun setelah beberapa hari berjalan, ia mendengar suara Tuhan yang memintanya untuk tetap tinggal sementara di sana. Awalnya, Tasia menolak. Akan tetapi, ia kemudian terpapar covid dan tidak bisa kembali ke Jakarta bersama tim yang lain. Ia benar-benar harus tinggal sementara di Maumere, seperti yang diminta oleh Tuhan.


Di sanalah penyelenggaraan Tuhan terjadi dalam hidup Tasia. Ia melakukan isolasi mandiri di sakristi biara, dekat dengan tabernakel. Saat itu Tasia merasakan bahwa Yesus sendiri yang menemani kesendiriannya.


Ia pun menyadari penyertaan Tuhan dalam masa kehilangannya, di mana Tuhan hadir melalui romo moderator dan komunitas Domus Cordis yang membantu suaminya menerima sakramen perminyakan hingga menyelenggarakan misa requiem pada pukul 3 pagi, sebelum suaminya diberangkatkan ke Jogja. Ia menyadari pekerjaan tangan Tuhan ketika ia harus menyelesaikan segala urusan administrasi kematian, hingga pindah dari rumah lamanya. Suatu hari, ia bangun dengan hati yang penuh kasih dan sukacita, dan siap untuk kembali mencintai orang-orang di sekitarnya.


Bagi Tasia, kematian suaminya bukanlah akhir dari segalanya. Benar bahwa ia memang tidak bisa bertemu dengan suaminya lagi di dunia ini, tapi yang paling penting ialah suaminya sudah tinggal bersama Tuhan. Ia punya tugas untuk mendoakan suaminya hingga sampai ke surga, dan ia percaya ketika sudah sampai di surga suaminya juga akan mendoakannya sepanjang hidupnya.


Tentang Kematian dan Persiapan Menuju Kematian

Yurika Agustina, selaku pembicara dalam Inspire kali ini, mengajak kita untuk melihat Injil Lukas bab 16 ayat 19-31. Kematian bukanlah akhir, melainkan pintu masuk yang baru. Berbeda dengan kehidupan kita di dunia ini, akan ada dua tempat berbeda yang menanti kita setelah kematian. Jika kita bisa mempersembahkan “panen” yang baik kepada Tuhan, maka kita akan bisa bersama-sama dengan-Nya. Akan tetapi, jika kita terlalu berfokus pada diri kita sendiri selama di dunia ini dan kurang peka pada orang di sekitar kita, mungkin kita tidak bisa hidup abadi bersama Tuhan. Menurut Paus Fransiskus, jika kita sudah terbiasa mati bagi orang-orang di sekitar kita selama kita hidup di dunia, maka kematian tidak lagi menjadi akhir yang menakutkan.


Kabar baiknya, ada beberapa penyelenggaraan Tuhan melalui Gereja untuk menyertai kita dalam kematian. Yang pertama adalah proses sakratul maut, yang juga dialami oleh Yesus di Taman Getsemani. Tuhan dan Gereja mendampingi sakratul maut kita, termasuk melalui komunitas umat beriman dan sakramen yang diberikan oleh imam. Yang kedua, adanya hari penghakiman dan api penyucian. Setiap dari kita akan menerima penghakiman masing-masing. Jika kita belum sepenuhnya sempurna dalam kasih, api penyucian menjadi bentuk penyelenggaraan Tuhan bagi jiwa kita. Kita akan dimurnikan untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Jika kita sungguh sudah serupa dengan Kristus, yang merupakan kesempurnaan kasih, maka kita akan masuk ke bagian ketiga, yaitu surga. Ketiga hal inilah yang kita imani dalam doa syahadat kita, yaitu ketika kita mengucapkan “persekutuan orang kudus”.


Kita yang masih hidup di dunia adalah bagian dari persekutuan orang kudus bersama dengan jiwa-jiwa di api penyucian serta santo-santa yang sudah ada dalam hadirat Tuhan. Untuk itu, kita juga diajak untuk saling membantu dalam kedukaan dan mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian. Dalam hal inilah kita menjadi lebih dewasa dalam iman dan memberikan pelayanan Kerahiman Ilahi.


Inspire bulan Juli ini kemudian ditutup dengan doa dalam kelompok sel masing-masing. Kami mendoakan setiap nama keluarga yang kami kasihi yang sudah berpulang dengan doa Kerahiman Ilahi. Sebagai penutup, Yurika juga mengingatkan kita kembali bahwa penyelenggaraan Tuhan akan selalu menyertai, karena kita semua adalah warga negara kerajaan surga. Amin.


Sampai jumpa di Inspire Cordisian bulan Agustus!


Penulis: Aufa - Servi Dei DC Jakarta

Editor: Anastasia Avi - Sancta Gratia DC Jakarta

26 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page